Cara Terbentuknya Bahasa Indonesia
Salah seorang anggota telah berpidato menggunakan bahasa Melayu saat terjadi demonstrasi. Tetapi selanjutnya orang-orang tetap saja menggunakan bahasa Belanda, karena pada tahun 1918 bahasa Melayu belum terjadi perkembangan saat itu, sedangkan pemakaiannya-pun masih canggung dalam pergaulan modern. Tetapi peristiwa ini menjadi tonggak sejarah dimana telah muncul mengenai keinginan untuk memperoleh sebuah bahasa kesatuaan dan saat itulah pertama kalinya bahasa Melayu terpilih menjadi bahasa kesatuan oleh suatu badan yang resmi.

Pengakuan dan pengangkatan bahasa Melayu itu selanjutnya diikuti oleh surat-surat kabar yang dipimpin oleh wartawan Indonesia dari kota Jakarta, Surabaya, Medan dan Padang. Beberapa nama jurnalis yaitu : DR. A. Rivai, Hj. Agus Salim, Dr. M Amir, Parada Harahap (Bintang Timur), Adinegoro (Pewarta Deli), Tjindarbumi (Suara Umum), Mr. Muh. Yamin dan Mr. Sumanang (Pemandangan-Antara).

Secara serempak dengan persurat-kabaran Indonesia, maka terbentuklan badan Pemerintah yaitu Balai Pustaka dengan menerbitkan majalah "Pandji Pustaka". Adapun Balai Pustaka tersebut sebenarnya telah dibangun oleh Gubernemen pada tahun 1908 untuk memberikan bacaan lanjutan bagi mereka yang telah mempelajari menulis dan membaca di bangku sekolah desa. Pada saat itu, badan Pemerintah ini adalah bagian Departemen Pengajaran dan Ibadat.

Setelah beberapa tahun, Balai Pustaka mulailah berjalan, karena segalanya mesti dibangunkan terlebih dulu dari mulai tingkat bawah. Penterjemah dan pengarang mesti dididik dulu untuk memahirkan bahasa Melayu dan hal mengarang adalah suatu pekerjaan yang mesti dipelajari juga. Tradisi dari zaman lampau telah merombak; kesusasteraan baru seharusnya mengilhamkan diri terhadap kesusasteraan dunia yang tentu akan tercapai walaupun harus dengan susah-payah.

Sebelum tahun 1919, pengaruh Balai Pustaka dalam kalangan bahasa Melayu masih sedikit sekali. Tetapi pada tahun itulah didirikan taman bacaan bahasa Melayu yang pertama. Tetapi sangat disayangkan, Balai Pustaka tidak mendirikan organisasi penjualan yang layak dan tidak berusaha untuk mendidik pedagang buku di Indonesia.

Berikut adalah nama-nama orang yang berjasa dalam merintis dan menyelenggarakan Balai Pustaka, yaitu: St. Perang Bustami, Nur Sutan Iskandar, Muhamad Kasim, Abdoel Moeis dan Sutan Pamuntjak. Merekalah yang meletakkan batu alasan untuk tradisi kesusasteraan yang baru. Bahasa Indonesia yang sekarang kita gunakan, barangkali tidak akan menjelma dalam bentuknya seperti saat ini, kalau bukan oleh usaha mereka. Tentu sepantasnya kita mengenang jasa-jasa; ahli bahasa Belanda yang tidak disebutkan namanya, yang memegang pimpinan Balai Pustaka yang sudah tepat memilih guru-guru dari Sumatra yang menjadi pembantunya dan yang memberikan pendidikan yang sangat dibutuhkan pada mereka.

Seperti yang telah diuraikan dalam "Ikhtisar menurut Sejarah", Sumatra Tengah-lah daerah bahasa Melayu yang paling tua dan asli, sehingga sangat tepat sekali telah dipilih orang-orang yang berasal dari Sumatra Tengah untuk menghidupkan kembali bahasa Melayu. Diantara orang-orang yang berjasa untuk perkembangan bahasa Indonesia telah disebutkan nama-nama Haji Agus Salim, Adinegoro (Djamaludin) dan Dr. Muh. Amir. Mereka ini selain berasal dari Sumatra juga mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan telah banyak pengalaman dalam dunia kesusasteraan.

Dari angkatan yang masuk Balai Pustaka pada kira-kira tahun 1930, antara lain; Sanusi Pane dan Mr. S. Takdir Alisjahbana. Yang terakhir ini telah memberi dorongan pada tahun 1933 untuk menerbitkan "Pujangga Baru", sebuah majalah kesusasteraan yang memberikan tempat yang selayaknya bagi puisi modern. Puisi ini mendapat ilham dari puisi Belanda yang disebut "Tachtiger Beweging", tetapi irama dan semangatnya Indonesia asli. Kemudian timbul-lah kegiatan yang hidup dalam dunia kesusasteraan Melayu selama tahun 1930-1940 yang benar-benar sangat mengagumkan.

Bersambung ke Sejarah Proses Terciptanya Bahasa Indonesia, part 2