Sejarah Bahasa Indonesia
Artikel lajutan dari : Bahasa Indonesia Menurut Sejarah.
Orang-orang Tionghoa yang hendak berjiarah diterima di Sriwijaya dengan penuh kehormatan dan raja pun memperkenankan mereka untuk menumpang kapal-kapal baginda untuk belajar ke Hindustan.
Dari suratan pada batu itu ternyata, bahwa bahasa kerajaan Sriwijaya adalah bahasa Melayu-kuno. Dari negara-negara Melayu dan Sriwijaya maka tersebarlah bahasa itu ke seantero jajahan Sriwijaya. Dengan negara-negara tetangga Minangkabau dan Bangka pada mulanya terbentuk suatu kesatuan di Sumatra, kemudian tibalah giliran "pantai-seberang" yaitu Semenanjung Malaka. Tentang pengiriman balatentara ke pulau Jawa telah kita baca di dalam titah yang tersebut di artikel sebelumnya.
Sebagian besar dari tanah Jawa adalah dikuasai oleh raja-raja Syailendra. Juga Kaling, Campa dan Kamboja termasuk ke dalam pengaruhnya. Di pantai-pantai Kalimantan dan pada beberapa tempat yang lain mereka mendirikan perkampungan, bahkan sampai ke Pilipina juga.

Tetapi kerajaan yang besar ini diadakan oleh negri Hindu Tjolamandala tahun 1024, maka menjadi lemah. Jawa Timur mendapat kesempatan akan memperluas daerahnya. Tahun 1275 datanglah balatentara Jawa yang dinamai "Pamalaju" yang dikirim oleh Kertanegara dari Singasari dan dengan inilah dimulainya politik luar negri yang baru: merebut kekuasaan tertinggi untuk Jawa. Sebagai akibat ekspedisi ini pada aliran hulu sungai Batanghari ditemukan sebuah piagam dari tahun 1286. Melayu telah dilepaskan dari Sriwijaya dan dijadikan negara pengikut Jawa. Tetapi sebelum abad itu berakhir, munculah kerajaan-kerajaan Islam: Perlak, Samudra Pasai..dsb.

Sriwijaya tidak kedengaran apa-apa lagi, sebaliknya kekuasaan Jawa-lah yang semakin bertambah sesudah berdirinya Majapahit, apalagi pada zaman perdana mentri Gajah Mada (1331 - 1364).
Pada saat itu Semenanjung diduduki oleh Siam, di Singapura bersemayam seorang gubernur Siam. Kira-kira tahun 1400 seorang pembesar pemberontak dari Jawa Timur, namanya Parameswara mencari perlindungan di Malaka, sebuah sarang bajak laut dan pasar gelap. Dibawah pemerintahan keturunannya, negri itu dapat memerdekakan diri dan mengalami kemajuan yang pesat.

Malaka beralih ke agama Islam dan memasuki gelanggang inetrnasional. Beberapa sebab yang istimewa memajukan lalu-lintas di lautan. Jalan kafilah yang tua sekali dari Tiongkok melalui Samarkand dan Buchara terganggu oleh desakan suku-suku Monggolia. Perniagaan terpaksa mengambil jalan yang baru di lautan melalui Malaka, Gujarat dan Ormuz. Di dalam tempo yang singkat Malaka telah menjadi pusat perniagaan yang besar disebelah Timur. Hasil bumi dari Maluku dan Jawa, beraneka ragam barang dari negri Tiongkok dan daerah yang lain di Asia-Timur, disinilah diperdagangkan.
Disini pula tempat menimbun memuat jenis-jenis barang. Saudagar dari mancanegara berjumpa, orang-orang yang berjumlah sangat banyak itu tinggal dan menetap dilingkungan yang terpisah-pisah yang masing-masing memiliki ketua dan memiliki urusan kehakiman sendiri.

Di dalam zaman ini juga, bahasa dan kesusasteraan Melayu mendapat perkembangan, tetapi sangat dipengaruhi oleh agama. Kaum saudagar yang datang dari Persia, Gujarat dan Pasai-lah yang membawa agama baru itu. Pada gilirannya orang Malaka menyebarkan agama Islam ke mana-mana di sebelah Timur. Di seluruh Sumatra, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar untuk agama Islam. Hasil kesusasteraan mengikuti jejak Persia-Arab. Hubungan dengan kesusasteraan Sriwijaya yang lama, sudah menjadi renggang dan tidak nyata. Apalagi Malaka mempergunakan surat Arab yang diterimanya dari pengaruh kebudayaan yang baru itu.

Perkembangan Malaka sangat luar-biasa cepatnya, tetapi hanya sekejap saja. Sengketa didalam negri membuatnya kacau, sehingga angkatan laut Portugis yang agak kecil dapat menaklukkan kota Malaka pada tahun 1511, dengan bantuan penduduk bangsa Jawa. Sultan Mahmud Syah menyingkir ke Pahang, kemudian ke Bintan. Sesudah kota Bintan dihancurkan juga oleh orang Portugis pada tahum 1526, raja Mahmud melarikan diri ke Kampar sampai meninggal disana. Baginda digantikan oleh putranya yang bergelar Ala'uddin Riajat Syah II. Dia-lah yang mendirikan negara baru di Johor, pada selat yang sempit diantara pulau Singapura dan Semenanjung itu (1530).

Walaupun beberapa kali dilakukan percobaan, namun ia tidak sanggup merebut kembali kota Malaka-nya. Pada saat itu Portugis telah memperkuat kota secara hebat dan tidak merasa segan mengambil batu-batu dari makam raja-raja Malaka untuk memmangun benteng. Adapun perpustakaan istana telah habis terbakar ketika terjadi penyerbuan orang Portugis dan tidak ada lagi sisa-sisa yang tertinggal dari kebudayaan Malaka yang dapat kita selidiki. Tetapi untunglah di Johor muncul suatu pembangunan kesusasteraan yang sangat mengagumkan dan yang menghidupkan kembali kesusasteraan Malaka. Terutama dituliskan buku-buku untuk mengganti perpustakaan yang musnah. Disamping itu terbitlah buku-buku yang berisi karangan baru. Yang termasyur diantaranya adalah: "Sejarah Melayu" yang mengandung kisah serangan Portugis dan jatuhnya kota Malaka serta sejarah Johor, pengarangnya Tun Mahmud bendahara Paduka raja yang terakhir di Johor, menyelesaikan buku tersebut di Lingga kira-kira tahun 1616. Kesusasteraan dari Johor inilah yang disebut kesusasteraan Melayu dan bahasanya ialah bahasa Melayu-Johor.

Bersambung ke Sejarah Awal Terbentuknya Bahasa Indonesia, part 3