Bahasa Sangsekerta
Adapun Bahasa Indonesia itu terbentuk dari bahasa kesusasteraan Melayu yang lama, yang juga disebut bahasa Melayu-Johor. Nama "Melayu" untuk pertamakali kita jumpai dipergunakan sebagai nama suatu kerajaan yang tua didaerah Jambi ditepi sungai Batanghari. Disitulah tempat pemboyongan orang-orang Hindu pada zaman dahulu kala, salah satu dari tempat-tempat yang bertaburan dikepulauan Indonesia dan yang lazimnya terletak pada sungai-sungai besar.
Kira-kira pertengahan abad ke-7, Melayu itu dkuasai oleh Sriwijaya yang ibukotanya menurut dugaan terletak disekitar kota Palembang sekarang ini.

Kerajaan Sriwijaya selama empat abad berkuasa dibagian barat kepulauan Indonesia dan sering disinggahi oleh musafir Tionghoa. Dari mereka, kita banyak memperoleh kabar-berita tentang kebesaran kerajaan tersebut. Tetapi selain dari keterangan yang sangat berharga, ada juga didapatkan beberapa batu bersurat dalam bahasa Sriwijaya, yaitu bahasa Melayu tertua yang kita ketahui. Bagi penyelidikan bahasa, tentu saja penemuan itu sangat penting sekali artinya.

Suratan tersebut terdiri dari empat buah prasasti yang berlainan bunyinya yang terpahat pada batu yang ditemukan di Palembang, Jambi dan Bangka. Tulisannya memperlihatkan huruf-huruf Sriwijaya yang diturunkan dari huruf Hindu. Piagam itu tertanggal berturut-turut tahun Saka 604, 605 dan 608. Penanggalan Saka itu memiliki selisih 78 tahun dari tarikh Masehi, sehingga tanggal tersebut sesuai dengan tahun Masehi 683, 683 dan 686. Bahasa Sriwijaya pada batu itu bukan hanya bahasa Melayu tertua, malah juga sisa yang tertua yang pernah kita temukan tentang salah satu bahasa Austronesia, berabad-abad lebih tua daripada sisa-sisa bahasa Jawa-kuno.

Supaya pembaca mendapat kesan sedikit tentang bahasa itu, dibawah ini akan mengulang baris-baris terakhir pada surat yang berasal dari pulau Bangka (Kota Kapur) dengan terjemahan dibawahnya. Rupanya ketika itu Bangka belum lama berselang ditaklukan oleh Sriwijaya dan pada saat balatentaranya hendak berangkay melakukan skspedisi ke pulau Jawa, keluarlah titah ini dengan sumpah-serapah terhadap kaum pemberontak.
Penduduk diancam dengan hukuman terberat jika mereka mengadakan hubungan dengan kaum pemberontak. Titah tadi yang ajaib pula dilihat dari sudut sejarah, baris akhirnya begini:
Sjakawarsjatita 608 ding pratipada sjuklapaksja wulan Waisjakha tatkalanja jang mangmang sumpah ini nipahat di welanja jang wala Sjriwidjaja kaliwat menapik jang bhumi djawa tida bhakti ka Sjriwidjaja
Tarikh Saka lampau 608 pada hari pertama setengah bulan terang bulan April tatkalanja mengucap sumpah ini, dipahat diwaktunya bala Sriwijaya telah menyerang tanah Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.

Selain dari kata-kata sanskerta pada permulaan kalimat tadi, tentu masih banyak perbedaan diantara bahasa Melayu yang hampir 1300 tahun lampaunini dengan bahasa Indonesia modern, misalnya "jang" sebagai kata sambung dipakai pada kata benda, barangkali terjadi dari "ja + ng". Juga "ng" sendiri terdapat sebagai katasandang dan diatas ini kita lihat ia rirangkaikan dengan kata depan "di" menjadi "ding".

Diantara kata-kata ganti penunjuk, masih kita jumpai disamping "ini" dan "itu" juga "inan" sesuai dengan ketiga kata-keterangan yang sekarang: disini -- disitu -- disana.
Didalam bentuk-bentuk kata-kerja, kita lihat disini awalan "di" bertindak sebagai "ni" yang tidak terbatas hingga "persona ketiga" saja. Bentuk "nigelarku" terdapat disamping "niminumnya".

Dalam ejaan masih kelihatan pemakaian konsonan yang diucapkan dengan aspirasi seperti: bh, ph, dh, kh. Kadang-kadang konsonnan itu sekarang masih ditunjukkan dengan suatu suku-kata tambahan seperti: Bahasa, bahagia, pahala tetapi biasanya aspirasi itu sudah lenyap: duka, bumi.
Tetapi meski demikian, mengingat perselisihan yang memakan waktu hampir 13 abad, kita masih tercengang dengan begitu banyak titik-titik penyesuaian dengan bahasa Indonesia sekarang. Bahasa Sriwijaya segera dikenal sebagai bahasa yang sama juga dalam bangunan yang kuno.

Sekarang juga masih banyak kata-kata Sangsekerta yang tetap tersimpan. Kata-kata ini sama halnya dengan kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dimasa kemudian, tidaklah terambil dari bahasa-bicara, tetapi dari bahasa-kitab atau bahasa-sarjana. Itulah sebabnya ejaannya masih sangat rapi, bertentangan dengan kata-kata yang berubah bentuknya yang dukutip dikemudian hari dari bahasa-bahasa bicara Portugis dan Belanda.

Bahasa Sangsekerta sudah berabad-abad sebelum tarikh kita menjadi bahasa yang mati, akan tetapi masih banyak dipergunakan oleh orang-orang berilmu seperti bahasa Latin dari abad pertengahan dibenua Eropa. Kolonisasi orang Hindu agaknya jangan kita pandang sebagaai penempatan perniagaan yang sementara saja, tapi juga boyongan yang benar-benar oleh turunan raja-raja beserta menteri hulubalangnya, juga seorang pendeta pemuja. Dimana-mana, mereka mendirikan negara-negara kecil menurut model dan adat Hindustan mereka. Tetapi mereka serempak juga menikah dengan putri-putri negri ini sendiri, sehingga bahasa-bicara Hindustan mereka cepat hilang. Hanya kasta pendeta-lah yang tetap memakai bahasa Sangsekerta yang tua tersebut sebagai bahasa keagamaan. Buah tangan mereka jugalah surat-surat didalam bahasa Sangsekerta yang begitu banyak tersebar di kepulauan Indonesia ini.

Lukisan tentang suatu negara Hindu merdeka yang beradab, demikian direncanakan oleh rahib-rahib Tionghoa bagi kita, ketika mereka pada perjalanan ke negri Nabi Buddha, singgah beberapa waktu di Sriwijaya dan Melayu, tetapi kadang-kadang juga tinggal bertahun-tahun disana. Rahib I Tsing menumpang beberapa tahun di Sriwijaya untuk menyalin dan menterjemahkan ayat-ayat yang kudus. Kedua bukunya, yang satu tentang praktek agama Buddha dan Hindu dan yang lainnya mengenai riwayat hidup orang-orang Tionghoa yang pergi berjiarah, adalah dikarang oleh seorang penulis yang bertahun-tahun berkediaman di Sriwijaya. Gambaran kebudayaan yang dituliskan itu memang penting dan lengkap.

Sriwijaya, dibawah pemerintahan keluarga raja-raja Syailendra bukanlah hanya menjadi pusat politik di Asia Tenggara pada zaman itu, tapi juga merupakan ilmu pengetahuan, terutama dalam kalangan agama Buddha. Di dalam ibukota tinggal-lah lebih dari seribu orang pendeta Buddha. Orang disana mempelajari ilmu tatabahasa Sangsekerta dan disitulah titik pusat penjelasan dan penyelidikan ayat-ayat. Salah satu dari ketujuh orang Maharsji agama Buddha berkedudukan disini yaitu sarjana Sjakjakirti dan ciptaannya yang bernama Hastadandasjastra adalah dimasukkan ke dalam dalil agama Buddha, yang pada tahun 711 diterjemahkan kedalam bahasa Tionghoa.

Bersambung ke Sejarah Bahasa Indonesia, part 2