Sumpah Berbangsa Indonesia dan Berbahasa Indonesia
Artikel lanjutan dari Sejarah Bahasa Indonesia, part 2.
Sumpah Pemuda, begitulah slogan yang kita kenal saat ini, sekali diucapkan lambat-laun menjadi semakin kuatlah cita-cita ini yang menghidupkan semangat putra-putri Indonesia yang semakin lama semakin berkobar-kobar. Betapa besar kegembiraan ketika mengadakan pengumuman tentang suatu kongres bahasa:
"Kongres Bahasa! Beberapa bulan lagi, maka tibalah saat yang besar itu. Setelah membangun-merobohkan, membentuk-menegakkan barulah rupanya belukar-kesukaran akhirnya dapat terombak, alangan-arungan dapat terhindarkan. Rindu-cemas kita menanti, waswas-gelisah mengharap hasil yang dapat memuaskan kita. Demikian Indonesia Nasional menunggu Kongres Bahasa Persatuan Kita!" (P. B. Agustus 1938).
 Didalam pergerakan politik kerapkali kita lihat bahwa orang terkemuka yang telah mengusahakan kemajuan bahasa itu jugalah yang memegang kepemimpinan. Dan walaupun sejak bertahun-tahun sudah menjadi soal pertikaian bagaimana corak bahasa Indonesia ini harus semestinya, dapatlah diduga bahwa pada akhirnya bahasa Melayu modernlah yang akan terpilih untuk bahasa persatuan.

Pengangkatan ini berlangsung pada kongres di Solo tahun 1938 yang diharapkan dengan sedemikian besar kegembiraan. Alasannya adalah pantas sekali: "Sebenarnya memang sejak dahulu kalapun di Tanah Air kita ini telah ada suatu bahasa yang dipakai sebagai alat perhubungan antara golongan-golonganbangsa kita. Dengan berpedoman pada bahasa Melayu-Riau, maka bahasa tersebut itu dalam setiap daerah atau negri mempunyai corak/logatnya sendiri-sendiri"

Tetapi, jika seandainya tidak ada perkembangan dan pembaharuan oleh persurat-kabaran dan Balai Pustaka yang telah disampaikan diatas, tentu tidaklah dapat digunakan bahasa Melayu-Riau ini. Maka sekarang bahasa Melayu Balai Pustaka ini dengan tidak mendapat perubahan atau pembatasan dan dengan ejaan Latin Van Ophuysen, telah diterima secara definitif sebahai bahasa Indonesia, dalam arti: suatu bahasa persatuan untuk seluruh penduduk Indonesia yang beraneka budaya. Dengan ini berakhirlah perlawanan dan keragu-raguan yang bertahun-tahun, sehingga segala tenaga dipergunakan untuk mempelajari bahasa ini. Pada saat itulah sebenarnya lahir Bahasa Indonesia saat ini.

Dalam pada itu mestinya kita memikirkan bahwa betapapun semuanya ini menimbulkan pergolakan, segala masalah dan persoalan dalam lapangan ilmu bahasa dan kebangsaan, waktu sebelum perang hanya menarik perhatian segolongan kecil orang saja. Khalayak ramai ditengah-tengah bangsa atau suku-suku bangsa Indonesia belumlah sampai kesitu kajiannya. Rakyat jelata hidup didalam lingkungan kaum atau sukunya atau perhubungan desanya, sehingga bagi mereka sebetulnya tidak perlu dunia luar, jadi tidak ada hasrat untuk berbicara dengan dunia luar itu dengan salah-satu bahasa persatuan. Sedangkan pada beberapa pemuda yang terkemukapun, misalnya murid-murid A. M. S. Gubernemen di Jogja, sebelum perang, amatlah kecil minat untuk pelajaran bahasa Melayu.

Selama pendudukan Jepang maka sangat dilarang untuk pemakaian bahasa Belanda pada pengajaran dan tata negara. Hal ini tentu membawa kesulitan yang tidak adapat dielakkan. Tidak ada suatu departemen pengajaran yang mempunyai rasa tanggung jawab akan berani menghubungkan semuanya sekaligus dengan sebuah bahasa pengantar baru, dengan tidak tersedia golongan pengajar yang telah terdidik, alat-alat pengajaran dan rencana pengajaran yang sepatutnya.
Meskipun bagi orang yang tahu akan sifat pemerintahan dan cita-cita Jepang waktu itu, tidak ada kebimbangan sedikitpun bahwa akhirnya dinegri ini hanya akan berkuasa bahasa Jepang seperti yang terjadi di Korea dan Formosa, tetapi dalam waktu awal, selama dikalangan bangsa Indonesia belu,m banyak orang yang pandai bahasa Jepang, pihak Jepang terpaksa memakai bahasa Indonesia dalam perhubungannya dengan bangsa Indonesia, baik dalam pemerintahan dan pergaulan sehari-hari maupun dalam propaganda dan pengajaran.
"Malah pihak Jepang maju selangkah lagi: mereka mengadakan tindakan untuk menyempurnakan bahasa Indonesia itu, bukan saja sebagai propaganda, tetapi tak kurang juga oleh karena mereka merasa bahwa meskipun hanya untuk sementara bahasa Indonesia yang tidak tetap kata-katanya, kurang pasti aturannya, akan menyusahkan pemerintahan mereka juga. Dari sudut inilah kita harus melihat dan menilai tindakan Kantor Pengajaran Balatentara Jepang pada tanggal 20 Oktober 1942 mendirikan Komisi (penyempurnaan) Bahasa Indonesia atas desakan dari beberapa pihak bangsa Indonesia" demikian S. T. Alisyahbana dalam pendahuluan buku Kamus Istilah hal 4.

Bersambung ke Pemuda Pemudi Indonesia Bersumpah, part 4